Kritik Laporan Pemakaian Air Data Center
Pendahuluan
Kita sering bahas soal data center dari sisi listrik, efisiensi energi, sampai PUE. Tapi ada satu topik yang makin panas (pun intended): air. Yap, server yang ngegas 24/7 itu butuh didinginin, dan salah satu caranya pakai air. Masalahnya, banyak laporan pemakaian air data center yang masih setengah matang. Angkanya ada, tapi konteksnya kabur. Buat Gen Z yang peduli sustainability tapi juga cinta performa digital, kita butuh laporan yang jujur, jelas, dan nggak cuma jadi bahan greenwashing.
Kenapa Pemakaian Air Data Center Penting?
Air itu bukan cuma angka di dashboard. Ada dampak benerannya:
– Beda lokasi, beda krisis. Satu liter air di daerah yang melimpah itu beda banget dampaknya sama satu liter di wilayah rawan kekeringan.
– Teknologi pendinginan berubah-ubah. Ada yang hemat air tapi boros listrik, ada yang sebaliknya. Trade-off-nya real.
– AI bikin kebutuhan meledak. Model makin besar, workload makin intens. Pendinginan makin kritis.
Intinya: kita nggak bisa cuma lihat “berapa liter” tanpa tahu “di mana”, “kapan”, dan “buat apa”.
Masalah Utama di Laporan Pemakaian Air
1. Standar yang masih berantakan
Sebagian besar pemain pakai WUE (Water Usage Effectiveness) sebagai KPI. Kedengarannya rapi: liter air per kWh IT. Tapi praktiknya:
– Definisi beda-beda. Ada yang hitung cuma air buat cooling, ada yang include humidification, ada yang exclude reuse.
– Nggak semua data center publish caranya ngitung. Jadi susah dibandingin apple-to-apple.
2. WUE doang nggak cukup
WUE rendah kelihatan keren, tapi:
– Bisa jadi dicapai dengan nge-boost listrik untuk chiller, yang ujungnya bikin emisi naik.
– Nggak ngomong apa-apa soal sumber airnya. Air baku, air daur ulang, atau air laut? Impact-nya beda.
3. Batas sistem (system boundary) kabur
Banyak laporan cuma fokus ke air onsite. Padahal ada air “tak terlihat” di balik listrik grid (water-for-energy). Pembangkit listrik termal juga pakai air buat pendinginan. Kalau listrik kita dari situ, ada jejak air tambahan yang jarang kebaca.
4. Konteks lokasi di-skip
Satu data center di daerah rawan kekeringan pakai 100.000 liter per hari itu lebih masalah dibanding di kawasan yang airnya melimpah. Tapi laporan jarang nge-link angka pemakaian dengan indeks kelangkaan air seperti WRI Aqueduct atau indikator lokal.
5. Granularitas waktu minim
Angka tahunan itu terlalu halu. Musim panas biasanya konsumsi naik. Tanpa data bulanan atau musiman, kita nggak bisa lihat pola puncak, dan nggak bisa bikin strategi adaptasi yang bener.
6. Transparansi dan audit lemah
Banyak perusahaan kasih angka agregat global tanpa breakdown per lokasi, tanpa audit independen, atau penjelasan metodologi. Alhasil susah diverifikasi dan gampang jadi bahan PR doang.
7. Greenwashing lewat “offset” air
Janji “water positive” itu bagus, tapi kalau implementasinya hanya restorasi di wilayah lain sementara site utama tetap ngeres keringin daerahnya, ya sama aja. Offset bukan kartu bebas dosa.
Trade-off Energi vs Air: Pilihan Nggak Pernah Sederhana
– Evaporative cooling: air boros tapi listrik hemat, WUE bagus, PUE bisa bagus.
– Chiller mekanis: air hemat tapi listrik naik, WUE bagus di atas kertas, emisi bisa naik kalau listriknya fossil-heavy.
– Free cooling (udara/air dingin): keren di iklim tertentu, tapi nggak selalu feasible.
Kesimpulan: KPI tunggal itu jebakan. Harus dilihat bareng PUE, emisi (Scope 2), dan risiko air lokal.
Apa yang Idealnya Dilaporkan (Biar Nggak Cuma Vibey)
Kalau mau laporan yang beneran berguna dan bisa di-audit, minimal ini yang perlu ada:
– Pemakaian air total per lokasi, per bulan (bukan cuma per tahun).
– WUE per lokasi + metode perhitungan (apa saja yang dihitung).
– Sumber air: air tanah, PDAM, air daur ulang (reclaimed/greywater), air hujan, seawater. Persentasenya jelas.
– Lokasi dan konteks risiko: link ke indeks kelangkaan air (misal WRI Aqueduct), plus status musim kering/kemarau.
– Teknologi cooling yang dipakai dan mode operasinya (evaporatif, chiller mekanis, adiabatik, free cooling).
– Kualitas air buangan (jika ada) dan cara pengelolaannya.
– Water-for-energy: estimasi jejak air tidak langsung dari listrik (berdasarkan mix grid lokal).
– Rencana pengurangan dan adaptasi: target, timeline, investasi, dan progress tahunan.
– Audit pihak ketiga dan konsistensi dengan standar pelaporan (misal CDP/GRI). Jelaskan boundary dan asumsi.
– Penjelasan trade-off: dampak perubahan desain dari sisi emisi vs air, bukan cuma angka “lebih baik”.
Tanda-tanda Laporan yang Patut Diacungi Jempol
– Site-level disclosure: data per fasilitas, bukan cuma total global.
– Konteks lokal: ada narasi tentang kondisi air setempat, kebijakan pengambilan air, dan keterlibatan dengan komunitas.
– Penggunaan air daur ulang tinggi, plus investasi infrastruktur lokal (bukan sekadar beli kredit).
– Transparansi musim puncak: strategi menghadapi heatwave dan projected growth (terutama untuk workload AI).
– Konsistensi metrik dari tahun ke tahun, dengan penyesuaian metodologi yang dijelaskan.
Kenapa Ini Relevan Buat Bisnis dan Konsumen Digital?
– Regulasi makin ketat. Beberapa yurisdiksi mulai mewajibkan pelaporan metrik air data center. Telat adaptasi = risiko compliance, izin, dan reputasi.
– Cost dan risiko operasional. Kekurangan air bisa bikin downtime atau capex dadakan buat ubah sistem cooling.
– Reputasi brand. Konsumen makin kritis. Janji “green” yang nggak dibacking data bisa jadi bumerang.
Langkah Praktis Buat Operator Data Center
– Audit internal: mapping konsumsi air onsite dan estimasi indirect water dari listrik.
– Pilih lokasi dengan water risk rendah untuk ekspansi workload intensif (terutama AI training).
– Upgrade ke sistem hybrid yang bisa switch mode sesuai musim (hemat air saat musim kering, hemat energi saat dingin).
– Maksimalkan air daur ulang dan rainwater harvesting. Negosiasi dengan utilitas lokal untuk akses reclaimed water.
– Publikasikan dashboard per lokasi, bulanan, dengan metodologi terbuka. Libatkan auditor independen.
– Kolaborasi dengan komunitas dan otoritas lokal: investasi proyek restorasi yang benar-benar relevan secara geografis.
Checklist Singkat Buat Pembaca yang Pengen Ngecek Laporan
– Ada data per lokasi? Bulanan? Atau cuma angka global tahunan?
– Sumber airnya dijelasin? Ada porsi air daur ulang?
– WUE-nya ada konteks teknologi cooling dan temperatur lokal?
– Ada indeks risiko air dan kebijakan mitigasi?
– Ada audit pihak ketiga dan metodologi transparan?
– Ada trade-off PUE vs WUE vs emisi yang dijelasin, bukan ditutupin?
Penutup
Bicara pemakaian air di data center bukan drama buat cari sensasi. Ini soal masa depan digital yang berkelanjutan. Angka tanpa konteks itu cuma kosmetik. Yang kita butuhkan: laporan yang jujur, granular, dan site-specific, lengkap dengan trade-off dan rencana aksi nyata. Biar kalau suatu saat kita bilang “cloud itu masa depan,” itu bukan berarti masa depan yang bikin tetangga sekitar data center kehausan. Saatnya naik level dari sekadar WUE cantik ke transparansi yang meaningful. No more vibes-only reporting—kita butuh data yang benar-benar bisa diandalkan.